Menelusuri akar ukhuwah Islamiyah dari Teologis hingga Sosiologis
(6 april 2015)
Oleh: M. Jandi al-farisi
Ukhuwah dalam islam memiliki dua makna yang
tidak sederhana. Ia tidak semata-mata menggambarkan kenyataan adanya
permaslahan diantara sesama manusia, tetapi juga sekaligus mencerminkan
ekspresi ketuhanan secara transedental. Istilah ukhuwah memang seringkali
digunakan untuk mengambarkan tatanan masyarakat yang satu sama lain saling
mengikat kebersamaan atau menjaga sistem sosial. Bahkan untuk menegaskan
semangat keislaman yang menjadi nafas kehidupanya, istilah tersbut hampir
selalu di gandengkan dengan kata islam, ukhuwah islamiyah.
Istilah ukhuwah, dengan beberapa bentuk kata
jadianya seperti ikhwa, akhowah dan lain sebagainya. Digunakan
al-qur’an sebagai isyarata ajaran yang bersifat horizontal untuk melengkapi
sisi ajaran yang lebih bersifat vertikal. Ayat 10 Al-hujarat, misalnya
dengan rapi menggandengkan kedua ajaran tersebut dalam dua ungkapan mu’min
dan ikhwah. Yang pertama tentu saja berkaitan dengan sikap tauhidullah,
sementara yang satu berkaitan dengan sikap tauhid ummah. Keuda sikap ini
yang pada akhirnya membentuk individu yang utuh sebagai bahan dasar
terbentuknya sikap solideritas sosial yang kuat dalam bermasyarakat.
Dengan demikian, tauhidullah dan ukhuwah
merupakan dua ajaran penting dalam islam yang menjadikan dasar dan semangat
yang melekat pada wujud seorang muslim dalam melakukan berbagai kegiatannya.
Karena perpaduan inilah, dalam gerakan islam prilaku apaun yang didasarkan pada
motivasi pengabdian kepada allah swt dapat dikategorikan sebagai ibadah. Sebab
apa yang namanya ibadah adalah segala aktivitas manusia baik yang langsung yang
berkaitan dengan sesuatu yang sakral maupun sesuatu yang bersifat kehidupan
sosial.
Keesaan Merangkai kesatuan umat
Ajaran tauhidullah merupakan landasan
keyakinan yang dapat melahirkan sikap-sikap Ikhlas, Ridha, Sabar,Syukur,
Tawakkal dan bahkan haya dan hub. Sikap-sikap tersebut
terlihat dalam prilkau keseharian, baik dalam diri individu maupun dalam
lingkungan sosial. Ia menjadi sumber motivasi psikologis dalam membentuk
tatanan kehidupan yang berlangsung mengikuti arus perkembangan zaman yang
semakin bebas. Oleh karena itu tatan masyarakat akan terwujud apabila adanya
sebuah sikap religiusitas seperti yang disebutkan diatas.
Proses sosialisasi untuk membentuk apa yang
secara sosiaologis disebut masyarakat (Society) akan berlangsung secara
alamiah. Karena nilai-nilai yang berdasarkan pada ajaran agama mempunyai pernan
terpenting dalam berinteraksi secara fungsional sesuai dengan karakteristik
masing-masing. Karena itu, prilaku sosial yang bersumber pada etika dan budaya
masyarakat, bukanlah merupakan wujud kehidupan yang terpisah dari semangat
agama yang bersumber pada Al-Quran. Seperti amal shalih yang bukan hanya
tindakan mementingkan diri sendiri dan pengabdian kepada allah, tetapi justru
mencerminkan fungsi-fungsi sosial yang diperlukan dalam kehidupan. Amal shalih
secara fungsional merupakan prilaku insani yang berlangsung secara alamiah
melalui jalur Sunatullah.
Ukhuwah: Antara Doktrin Dan Kenyataan
Dengan demikian,
ukhuwah islamiyah yang secara sederhana dialihbahsakan sebagai “persaudaraan
muslim”, tidak lahir dengan sendirinya atas dasar kehendak sipapun atau karena
tuntutan apapun. Ukhuwah islamiah merupakan wujud yang diusahakan dari berbagai
proses yang diajalnkan. Proses inilah yang akan membentuk apa yang namnya
ukhuwah islamiyah. Karena perubahan akan selalu lahir dari apa yang namnya interaksi
yang secara terus menerus berusaha mencari apa yang ia inginkan. Karena allah
pun menegaskan bahwa apapun jenisnya perubahan itu bukanlah sebauh anugrah akan
tetapi meruapak hasil dari sebuah proses dan merupakan produk individual yang
terakumulasi dalam ikhtiar dan cita-cita manusia.
Dalam perspektif
strukturalisme, ukhuwah islamiyah merupakan sistem sosial yang terbangun dari
sejumlah unsur yang saling berkiatan secara fungsional. Sehingga untuk
mengamati dan membentuk bangunan ukhuwah, seseorang masih perlu merumuskan
dalam tatanan empirik yang dapat dibentuk dan diamati secara manusiawi.
Petunjuk-petunjuk ajaran yang termaktub secara tekstual, juga ditafsirkan
kedalam proses kehidupan yang mensejarah.
Dalam sejarah
perjalanan ummat manusia, tercatat pernah adanya wujud ukhuwah yang juga lahir
dari proses sosial yang diusahakan. Sejak rintisan masa dimadinah, nabi saw
berhasil membentuk tatanan masyarakat yang mencerminkan semangat ukhuwah.
Masyarakat ideal ini bukan percontohan yang terbentuk dengan sendirinya. Dalam
kpasitas apapu, rasulallah melakukan proses manusiawi membentuk tatanan baru
yang dikehendak, sehingga dari proses inilah masyarakat madinah terbentuk dalam
semangat kebersamaan yang penuh toleransi.
Ada beberapa
faktor yang memperkuat bangunan ukhuwah seperti yang diperankan oleh masyarakat
nabi.
Pertama, ukhuwah pada dasarnya merupakan refleksi sosial dari dari
kekuatan tauhid setiap individu yang tergabung didalamnya. Sehingga wujud
ukhuwah ini otomatis menjadi ukuran kesalihan dan ketakwaa, baik secara
personal maupun komunal.
Kedua, sebagai konsekwensi dari sikap seperti disebutkan diatas, maka
ukhuwah juga merupakan wujud yang mencerminkan terpeliharanya budaya ta’awun
(tolong menolong), tsamuh (toleran), dan sejumlah budaya positi laina yang
bersumber dari sifat-sifat rahman dan rahimnya.
Namun demikian,
sejarah juga memberikan pelajaran bahwa wujud ideal seperti digambarkan diatas
bukan merupakan jaminan untuk bisa berlangsung tanpa adanya hambatan. Bangunan
ideal itu memerlukan pemeliharaan agar terjaga kelanjutanya, sehingga kekayaan
sosial yang dapat diwariskan dari generasi ke generasi.
Wallahua’lam bisshawab
0 komentar:
Posting Komentar