Sabtu, 09 Mei 2015

Menelusuri akar Ukhuwah Islamiyah dari Teologis hingga Sosiologis


Menelusuri akar ukhuwah Islamiyah dari Teologis hingga Sosiologis
(6 april 2015)
Oleh: M. Jandi al-farisi

@google.com

Ukhuwah dalam islam memiliki dua makna yang tidak sederhana. Ia tidak semata-mata menggambarkan kenyataan adanya permaslahan diantara sesama manusia, tetapi juga sekaligus mencerminkan ekspresi ketuhanan secara transedental. Istilah ukhuwah memang seringkali digunakan untuk mengambarkan tatanan masyarakat yang satu sama lain saling mengikat kebersamaan atau menjaga sistem sosial. Bahkan untuk menegaskan semangat keislaman yang menjadi nafas kehidupanya, istilah tersbut hampir selalu di gandengkan dengan kata islam, ukhuwah islamiyah.
Istilah ukhuwah, dengan beberapa bentuk kata jadianya seperti ikhwa, akhowah dan lain sebagainya. Digunakan al-qur’an sebagai isyarata ajaran yang bersifat horizontal untuk melengkapi sisi ajaran yang lebih bersifat vertikal. Ayat 10 Al-hujarat, misalnya dengan rapi menggandengkan kedua ajaran tersebut dalam dua ungkapan mu’min dan ikhwah. Yang pertama tentu saja berkaitan dengan sikap tauhidullah, sementara yang satu berkaitan dengan sikap tauhid ummah. Keuda sikap ini yang pada akhirnya membentuk individu yang utuh sebagai bahan dasar terbentuknya sikap solideritas sosial yang kuat dalam bermasyarakat.
Dengan demikian, tauhidullah dan ukhuwah merupakan dua ajaran penting dalam islam yang menjadikan dasar dan semangat yang melekat pada wujud seorang muslim dalam melakukan berbagai kegiatannya. Karena perpaduan inilah, dalam gerakan islam prilaku apaun yang didasarkan pada motivasi pengabdian kepada allah swt dapat dikategorikan sebagai ibadah. Sebab apa yang namanya ibadah adalah segala aktivitas manusia baik yang langsung yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral maupun sesuatu yang bersifat kehidupan sosial.

Keesaan Merangkai kesatuan umat  
Ajaran tauhidullah merupakan landasan keyakinan yang dapat melahirkan sikap-sikap Ikhlas, Ridha, Sabar,Syukur, Tawakkal dan bahkan haya dan hub. Sikap-sikap tersebut terlihat dalam prilkau keseharian, baik dalam diri individu maupun dalam lingkungan sosial. Ia menjadi sumber motivasi psikologis dalam membentuk tatanan kehidupan yang berlangsung mengikuti arus perkembangan zaman yang semakin bebas. Oleh karena itu tatan masyarakat akan terwujud apabila adanya sebuah sikap religiusitas seperti yang disebutkan diatas.
Proses sosialisasi untuk membentuk apa yang secara sosiaologis disebut masyarakat (Society) akan berlangsung secara alamiah. Karena nilai-nilai yang berdasarkan pada ajaran agama mempunyai pernan terpenting dalam berinteraksi secara fungsional sesuai dengan karakteristik masing-masing. Karena itu, prilaku sosial yang bersumber pada etika dan budaya masyarakat, bukanlah merupakan wujud kehidupan yang terpisah dari semangat agama yang bersumber pada Al-Quran. Seperti amal shalih yang bukan hanya tindakan mementingkan diri sendiri dan pengabdian kepada allah, tetapi justru mencerminkan fungsi-fungsi sosial yang diperlukan dalam kehidupan. Amal shalih secara fungsional merupakan prilaku insani yang berlangsung secara alamiah melalui jalur Sunatullah.

Ukhuwah: Antara Doktrin Dan Kenyataan
            Dengan demikian, ukhuwah islamiyah yang secara sederhana dialihbahsakan sebagai “persaudaraan muslim”, tidak lahir dengan sendirinya atas dasar kehendak sipapun atau karena tuntutan apapun. Ukhuwah islamiah merupakan wujud yang diusahakan dari berbagai proses yang diajalnkan. Proses inilah yang akan membentuk apa yang namnya ukhuwah islamiyah. Karena perubahan akan selalu lahir dari apa yang namnya interaksi yang secara terus menerus berusaha mencari apa yang ia inginkan. Karena allah pun menegaskan bahwa apapun jenisnya perubahan itu bukanlah sebauh anugrah akan tetapi meruapak hasil dari sebuah proses dan merupakan produk individual yang terakumulasi dalam ikhtiar dan cita-cita manusia.
            Dalam perspektif strukturalisme, ukhuwah islamiyah merupakan sistem sosial yang terbangun dari sejumlah unsur yang saling berkiatan secara fungsional. Sehingga untuk mengamati dan membentuk bangunan ukhuwah, seseorang masih perlu merumuskan dalam tatanan empirik yang dapat dibentuk dan diamati secara manusiawi. Petunjuk-petunjuk ajaran yang termaktub secara tekstual, juga ditafsirkan kedalam proses kehidupan yang mensejarah.
            Dalam sejarah perjalanan ummat manusia, tercatat pernah adanya wujud ukhuwah yang juga lahir dari proses sosial yang diusahakan. Sejak rintisan masa dimadinah, nabi saw berhasil membentuk tatanan masyarakat yang mencerminkan semangat ukhuwah. Masyarakat ideal ini bukan percontohan yang terbentuk dengan sendirinya. Dalam kpasitas apapu, rasulallah melakukan proses manusiawi membentuk tatanan baru yang dikehendak, sehingga dari proses inilah masyarakat madinah terbentuk dalam semangat kebersamaan yang penuh toleransi.
            Ada beberapa faktor yang memperkuat bangunan ukhuwah seperti yang diperankan oleh masyarakat nabi.
Pertama, ukhuwah pada dasarnya merupakan refleksi sosial dari dari kekuatan tauhid setiap individu yang tergabung didalamnya. Sehingga wujud ukhuwah ini otomatis menjadi ukuran kesalihan dan ketakwaa, baik secara personal maupun komunal.
Kedua, sebagai konsekwensi dari sikap seperti disebutkan diatas, maka ukhuwah juga merupakan wujud yang mencerminkan terpeliharanya budaya ta’awun (tolong menolong), tsamuh (toleran), dan sejumlah budaya positi laina yang bersumber dari sifat-sifat rahman dan rahimnya.
            Namun demikian, sejarah juga memberikan pelajaran bahwa wujud ideal seperti digambarkan diatas bukan merupakan jaminan untuk bisa berlangsung tanpa adanya hambatan. Bangunan ideal itu memerlukan pemeliharaan agar terjaga kelanjutanya, sehingga kekayaan sosial yang dapat diwariskan dari generasi ke generasi.
Wallahua’lam bisshawab

0 komentar:

Posting Komentar