“Memahami Gaya Hidup
Melalui Perspektif Sosiologi Ekonomi”
Oleh: M. Jandi
al-Farisi
Ditengah
perkembangan masyarakat modern menuju masyarakat post modern, selain ditandai
dengan munculnya masyarakat informasi dan masyarakat konsumsi, ini juga
ditandai dengan munculnya perkembangan gaya hidup masyarakat yang lebih banyak
dikendalikan oleh kekuatan industri budaya.
Yang
dimana gaya hidup ini bagaimana seseorang mampu menampilkan dirinya dihadapan
orang lain, dan bangaimana membangun identitas dihadapan lingkungan sosialnya
dalam banyak hal yang dipengaruhi oleh gaya hidup dan konstruksi dirinya untuk
menyikapi tuntunan masyarakat dan kepentingan yang melatar belakanginya. Gaya
hidup yang seperti apa dan bagaimana cara menampilkanya, semua ini dipengaruhi
oleh ekspansi kekuatan kapital atau industri budaya yang sengaja dirancang dan
mendorong perkembangan gaya hidup untuk kepentingan akumulasi modal dan
keuntungan.
Gaya
hidup (Life Style) berbeda dengan cara hidup (Way Of Life). Cara
hidup ditampilkan dengan dengan ciri-ciri (norma, ritual, pola-pola tatanan
sosial dll), sementara gaya hidup diekspresikan melalui apa yang dikenakan
seseorang, apa yang ia konsumsi, dan bagaimana ia bersikap/ berprilaku, ketika
dihadapan orang lain.
Gaya
hidup bukan sekedar beraktivitas atau mengisi waktu luang, akan tetapi gaya
hidup tumbuh dan berkembang oleh kekuatan kapital untuk membangun keuntungan
pangsa pasar dan menghela agrsivitas masyarakat dalam mengonsusmsi berbagai
produk industri. Inilah strategi kaum kapitalisme[1].
A. Pengertian Gaya Hidup
Dalam
hal kajian sosiologi ekonomi, prilaku konsumsi dan aspek budaya seringkali
dipahami sebagai dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Prilaku seseorang dalam
membeli produk budaya, mengkonsumsi produk budaya dan memanfaatkanya, selain
dipengaruhi berbagai faktor sosial: kelas, usia, gender, dan yang tak kelah
penting adalah prilaku konsumsi yang di bentuk oleh gaya hidup.
1.
Gaya hidup
adalah adabtasi individu terhadap kondisi sosial dalam rangka memenuhi
kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang lain. Yang mecakup kebiasaan, pandangan, dan
pola-pola respon terhadap hidup terutama perlengkapan hidup (pakaian, cara
kerja, pola konsumsi, dan mengisi waktu luang)[2].
2.
Gaya hidup
adalah pola-pola tindakan yang membedakan satu orang dengan orang lainya (Chaney,
2004: 40)[3].
3.
Gaya hidup
adalah cara manusia memberikan makna pada dunia kehidupanya, membutuhkan
mediaum dan ruang untuk mengekspresikan makna tersebut, didalamnya terdapat
citra yang mempunyai peran yang sangat sentral[4].
4.
Gaya hidup
adalah ciri sebuah dunia modern atau modernitas[5].
Artinya siapapun yang hidup dalam masyarakat modern, akan menggunakan gagasan
tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakanya sendiri maupun orang lian.
5.
Gaya hidup
adalah sesuatu yang sifatnya individual[6].
B.
Habitat
Perkembangan Gaya Hidup
Gaya
hidup biasanya berkembang dimasyarakat yang diiringi dengan globalisasi[7],
perkembangan pasar bebas dan tranformasi kapitalisme konsusmsi melui dukungan
(iklan, media massa, budaya populer dan transformasi nilai modern yang
dilakukan). Kapitalisme memoles gaya hidup dan membentuk masyarakat konsumen,
gaya hidup dan prilaku konsumtif tidak bisa dipisahkan keberadaanya keduanya
sudah menjadi habitat subur kapitalisme.
Dalam
spesialisasi masyarakat kota yang secara universal bahwa segala sesuatu
bertumpu pada suatu titik yaitu kota.
Dan keberlangsungan kapitalisme pun, adalah kota sebagai target utama dan salah satu
faktornya adalah tatanan ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat perkotaan
umumnya ekonomi pasar yang berorientasi pada nilai uang, persaingan dan
nilai-nilai inovatif dll, spesialisasi tersebut berlaku bagi masyarakat dan
kelompok yang memiliki modal (Capital) dan kekuasan besar. Secara
individual masyarakat kota cenderung senantiasa menerima perubahan dan berusaha
beradabtasi secara massif dalam perubahan gaya hidup yang sedang berlangsung[8].
C.
Ciri-Ciri
Gaya Hidup
1.
Gaya hidup
mengandalkan simbol-simbol budaya;
2.
Memamerkan
simbol-simbol ekonomi hight class;
3.
Segalala sesuatu
diukur dengan dana yang selangit;
4.
Keterbukaan,
pluralisme tindakan, dan multi pluralisme benar-benar tumbuh;
5.
Mementingkan
diri sendiri;
6.
Mengutamakan
tampil beda dengan yang lain.
D.
Karakteristik
Perkembangan Masyarakat Post-Modern[9]
(Ranah Gaya Hidup)
1.
Budaya tontonan (a
Culture Of Spectacle) menjadi cara dan media bagi masyarakat untuk
mengekspresikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat kelas atas.
2.
Masyarakat
pesolek (a Dandy Society) yang lebih mementingkan penampilan dari pada kualitas
kempetensi dan pengetahuan yang sebenarnya.
3.
Masyarakat
estetisasi (a Beauty Society) mementingkan penampilan dari pada fungsi
atau kegunaan barang yang ia miliki.
4.
Penampilan luar (Lookism)
mengutamakan penampilan luar, dengan persepsi dengan tampilan yang ia gunakan
maka orang lain akan menilai dirinya adalah ciri orang sukses, kalangan kelas
atas, elit dan berdarah biru.
Di
era post-modern banyak orang yang mengutamakan profan[10]
akan tetapi wilayah kajian kapitalisme kini merabah kepada tataran sesuatu yang
sakral dalam agama. Spiritualisme baru seperti (Wisata Religius, Umrah,
Haji, Kiayi Beken, Tablig Akbar, Selametan, Upacara Adat, Esklusif Muslim
Fashion, Pemilihan Miss Muslimah, Dai Cilik, Aksi Indosiar, Kontes Dai Tpi,
Hafidz Cilik, Qari Nasional Dan Internasional, Seminar Islami, Pengajian Di
Makam Selama 7 Malam, Maulid Nabi, Ucapan Bela Sungkawa Dibalut Dengan Acara
Yang Mewah In Memoriam Alm Olga Syaputra) itu semua bentuk kapitalisme yang
dibentuk atau dibungkus oleh kain kapitalisme yang menawan. Tidak bisa
dipungkiri bahwa tindakan spiritualisme ini tujuanya utamanya adalah
keuntungan.
Selain
masuk dalam wilayah sakrak gaya hidup kapitalisme juga kini telah mewabah
kepada hal-hal yang sangat privat. Seperti (Gaya Hubungan Intim Suami
Isteri, Memperpanjang Alat Kelamin, Obat Kuat, Pembesar Payudara, Merapatkan
Vagina, Obat Stamina, Kencan Buta, Perselingkuhan, Nikah Kontrak, Pacaran
Kontrak, Nikah Online Dll) dibalut menggunakan media iklan, televisi,
koram, majalah dll. Pada hakikatnya diera post-modern sepertinya tidak ada lagi
ruang dan kehidupan yang tanpa penetrasi atau kontaminasi campur tangan
kapitalisme yang menawarkan kemasan gaya hidup yang serba instan.
Disisi
lain modernisme meberikan manfaat terbesar dalam dunia teknologi dan pergerak
dalam kaijan sains. Namun dilain sisi moderitas telah menimbulkan maslah sosial
yang termat dalam, dengan kehadiran gaya hidup, masyarakat menjadi hedon, sekuler
dan individualisme. Terutama dalam “pendangkalan” nilai-nilai dan budaya
ketimuran bagi orang indonesia yang telah berakar dalm tubuh masyarakat.
Dimana
dunia sosial dibawah dominasi astetisme, sekurelisme, pluralisme, kalim
universalis tentang rasionalitas-instrumental, difernsiasi berbagai lapangan
kehidupan sosial, birokrasi, ekonomi, praktek politik dan militer, serta
moneterisasi nilai-nilai yang sedang berkambang[11]
Budaya
konsumsi masyarakat semakin besar, ditambah dengan bermunculan tempat perbenajaan
yang semakin menjamur. Mall, Alfamart, Yomart, Indomart, Cafe, Kedai, Borma,
Sb Mart, Carefure, dll. Semuanya dibalut dengan gaya semenarik mungkin.
untuk menarik pangsa pasar maka kaum kapitalisme mempunyai cara jitu dan cerdik
dengan proses sosialisasi, discoun besar-besaran, promosi melaui berbagai media
(cetak dan elekronik).
Selain
gaya hidup yang mewabah pada tataran keagamaan, hal yang privat, tempat
perbelanjaan, ada pula gaya hidup yang mewabah pada ranah makanan. Seperti gaya
hidup mengkonsumsi produk barat, seperti (Md, KFC, Hoka-Hoka Bento, Ramen, CFC,
Coca-Cola, Pepsi, Big cola, Makanan
Cepat Saji Lainya, Hotdog, Dll).
E.
Gaya
Hidup Dan Gender[12]
Gaya
hidup merupakan cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu
dalam kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbol, sekaligus cara
bermain dengan identitas. Para aktor ini sesungguhnya sedang mengumpulkan
berbagai persepsi dari khalayak umum dari manakah ia berasal (Upper Class Or
Lowers Class). Karena dengan gaya hidup kita dapat membedakan orang yang
satu dengan yang lainya.
Gaya
hidup bukan hanya monopoli kelas menengah keatas, akan tetapi lintas kelas.
Bukan pula monopoli kalangan hawa. Tetapi, kaum adampun sama, sering disebut
dengan (Lelaki Metroseksual). Kaum lelaki diera sekarang tidak mau kalah
saing dengan kaum hawa, ia memoles dirinya dengan berbagai produk, (Tampil
Lebih Macho, Pakain Serba Mahal, Penampilan Tubuh Menjadi no Utama, Sering Nge Gym, Fitnes,
Wangi, Rambut Modis, Segala Sesuatu Mengkonsusmsi Industri Budaya Berkelas,
Pakaian Yang Serba Tanggung, Celana Yang Pensil, Model Baju Menyerupai Kaum
Hawa, Dan Hangouts Ditempat Yang Berkelas, gaya dan tampilan semakin
mengutamakan estetis, berusaha matang dalam pennampilan) ini semua sudah
menjadi dari bagian dari identitas sosial. Bagi kekuatan kapitalis wanita menjadi ladang
utama untuk menjadikan target dan pangsa pasar. Berikut ini tabel perbandingan
gaya hidup laki-laki dan perempuan.
Tabel 1
Perbedaan gaya hidup laki-laki dan
perempuan[13]
Angka keseluruhan dewasa awal
|
Male
|
Famale
|
|
Pakaian
|
63
|
40
|
79
|
Musik
|
36
|
44
|
27
|
Jalan-jalan
|
26
|
34
|
19
|
Penampilan
pribadi
|
16
|
3
|
30
|
Tabungan
|
14
|
11
|
16
|
Buku
|
8
|
7
|
10
|
Hobi
|
8
|
12
|
3
|
Olahraga
|
8
|
14
|
2
|
Kendaraan
|
7
|
12
|
3
|
Sumber: BMRB/mintel
(mintel: 1988: 98, dalam david chaney, 2004: 70).
Dari
tabel diatas sangat tampak perbandinganya, maka tidak heran wanitalah yang
menjadi target pangsa pasar kapitalisme, dan wanita seolah-olah mereka hidup
dalam panggung sandiwara, ibaratnya kaum wanita selalu tampil esklusif di
berbagai moment. Tidak terlepas kaum lelakipun sekarang sekarang ini makin
banyak yang terkena virus gaya hidup, tampil metroseksual. Sepertinya tidak ada
satu bagian tubuh wanita yang tak terkena polesan kosmetik dan aksesoris budaya
populer. Apalagi setelah gencar adanya Operasi Plastik, Pasang Kawat Gigi,
Gigi Kelinci, Tempel Kuku, Rambut Sambung, Softlen, Bulu Mata Palsu, Jambul
Palsu, alis palsu, sulam bibir, dll.
Dilihat dalam konteks
pemasaran produk, gaya hidup seringkali difahami dalam dua pengertian:
1.
gaya hidup bukan
sesuatu yang statis, tetapi mengikuti trend sosial;
2.
lebih
memfokuskan implikasi (keterlibatan) kultural dari trend sosial.
Para
kaum kapitalis biasanya menskenario sedemikian rupa bahwa segala sesuatu akan
berubah dan konsumen dipastikan Up To Date, dan terus menguras koceknya
untuk membanjiri pasar pembelanjaan (Mall, Cafe, Restouran, Kedai, Wisata,
Dll).
Seperti
halnya penomena skarang ini masyarakat indoinesia sedang gencar dengan apa yang
namnya batu mulya (batu akik) berbagai lapisan masyarakat berbaur dalam suatu
perkumpulan yang dimana aktivitas ini memberikan suatu cara pandang yang sangat
jelas. Dengan adanya gaya hidup baru dengan trend batu akik maka, secara tidak
sengaja proses interaksi dari berbagai kalangan telah terjadi tidak adanya
pembedaan kelas maupun jenis kelamin. Yang kaya, sederhana, miskin, laki-laki,
perempuan dan semuanya menyatu. Memberikan suatu korelasi mutualisme simbiosis,
ada pertukaran nilai yang terjadi.
Menurut
David Chaney (2004), tema perbincangan gaya hidup pada umumnya membicarakan
mengenai: pertama, penampakan luar (Surfaces), kedua, kedirian (Selves),
dan ketiga, sensibilitas (Sensibility).
Surfaces,
Yang diaman gaya hidup mejadi tahap terpenting untuk memanipulasi identitas
sosial, maka gaya hidup selalu teraktualisasi melalui perubahan secara konstan
melaui tontonan dari penampilan luar yang dilihat masyarakat umum. Maka dari
itu tampilan luar lebih penting dari segalanya untuk memberikan space dan
pembeda antara satu dengan yang lainya dengan memanipulasi dan interpretasi
penampilan luar.
Ada
empat tahapan proses promosi yang terjadi pada masyarakat post-modern untuk
mendukung penampilan:
1. Idolarity, yaitu produk-produk
yang disajikan dalam nilai guna murni;
2. Iconology, yaitu produk-produk
diberi atribut simbolis;
3. Narsisme, yaitu produk-produk
yang di personalisasi dalam nilai secara interpersonal;
4. Totemisme, yaitu produk-produk
tampil sebagai status tanda atau indikator bagi suatu kolektivitas yang di defininisikan melaui penampilan dan
aktivitasnya.
Seseorang
dalam memilih produk yang ia beli dan konsumsi sesungguhnya bukan sebagai
kebutuhan primer akan tetapi atas dasar dorongan dunia luar yang menuntut
dirnya tampil berbeda dengan yang lian.
Selves, dalam mengembangkan gaya hidup dalam
memilih berbagai atribut budaya yang dianggap sesuai dengan kelas atau kelompok
sosial dari mana seseorang berasal. Kedirian dan identitas seseorang adalah
ekspresi individu per individu untuk memperlihatkan perbedaan dan kekhasan
mereka. Kedirian bukanlah sikap egoistis, dan kedirian adalah bagian penting
dari proses seseorang dalam membangun dan mengembangkan identitas sosialnya.
Ada dua konteks perkembangan gaya hidup diera
post-modern:
1.
Cara berpartisipasi
masyarakat cenderung berubah dari pola komunal kepola yang lebih privat dan
personal;
2.
Pragmentasi
pasar, dimana terjadinya pergeseran dalam pemasaran yang awalnya berbasis
khalayak luas dan bercampur kini lebih ter ceruk-ceruk dan terspesialisasikan.
Sensibility,
pada dasdarnya berkaitan dengan cara seseoarang untuk menunjukan afilisasinya
terhadap berbagai phenomena yang bisa dikenal berbagai kelompok, lewat ide,
gagasan, nilai-nilai atau citra rasa musik, makanan dan pakaian. Berbusana
dengan cara tertentu, memilih tempat hiburan, temapat ibadah dll. Itu semua
adalah cara mengembangkan sensibilitas dalam kerangka budaya material. Dengan
melekati barang industri budaya dengan makna simbolis.
G. Memahami Gaya Hidup Melaui Perspektif Psikologis
Ketika
seseorang telah masuk dalam ranah kapitalisme budaya populer, yang mengutamakan
gaya hidup. Eksistensi dalam panggung sandiwara ini adalah ingin mendapatkan
pujian atau sedang mereduksi berbagai persepsi orang lain melaui penampilanya.
Maka secara psikologis hal tersebut adalah sebuag tindakan seseorang untuk
memenuhi naluri kepuasanya dalam hal berpenalpilan. Ini merupakan kebutuhan
sosial yang disebabkan pergaulan yang datang dari luar (stimulus), seperti
layaknya pada biantang, namun Pada manusia berbantuk nilai. Jadi kebutuhan itu
bukan hanya semata-mata kebutuhan bilogis melainkan juga kebutuhan rohaniah.
Menurut Guilford melihat
penomena seperti ini perlu adanya[15]:
1.
Pujian Dan
Hinaan, merupakan faktor terpenting dalam pembentukan
sistem moral manusia. Pujian merangsang manusia untuk mengejar prestasi dan
kedudukan yang terpuji (mengikuti berbagai kontes kecantikan, miss world, miss
indonesia, mojang jajaka, L-man, majalah gadis, hight and teen magazine dll)
sedangkan hinaan menyadari manusai dari kekeliruan dan pelanggaran terhadap
etika sosial.
2.
Kekuasaan dan
mengalah, Adflet Adler mengatakan secara naluriah manusia
ingin berkuasa. Nietrczhe mengatakan sebagai motif primer dalam kehidupan
manusia, sedangkan Guilford kekuasaan, kebutuhan dan mengalah itu tercermin
dari adanya perjuangan manusia.
3.
Pergaulan,
kebutuhan manusia untuk bermasyarakat dan berorganisasi (Homo Socius-Zon
Politocon)
4.
Imitasi Dan
Simpati, meniru dan mengadakan respon emosional, sebagai
akbibat adanya kebutuhan.
5.
Perhatian,
kebutuahn perhatian merupakan hakikat manusia dalam dunia sosial masyarakat
tidak terlepas kecil atau besar perhatian tersebut. Begitupun ketika seseorang
dengan gaya hidupnya yang seba mewah maka ia menginginkan perhatian yang
medalam terhadapnya.
Sedangkan
menurut Dr. Zakiah Daradjat[16]
mengatakan bahwa kebutuhan manusia ada yang bersifat kebutuhan sekunder yaitu
kebutuhan rohaniah: jiwa dan sosial. Salah satunya dalah kebutuhan akan rasa bangga
diri. Yakni kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang bersifat individual.
Diabaikannya akan rasa bangga diri ini cenderung menimbulkan rasa sombong,
sensitif, hedonis, individualis dan lainya.
Secara
psikologis ketika seseorang mengutamakn gaya hidup dan tata cara prilaku dan
tindakannya itu terbagi atas dua tindakan yaitu, fenotipe dan genotipe.
Fenotipe adalah tipe yang tampak pada seorang individu dan secara
keseluruhan bahwa karakteristik individu secara aktual berkembang. Sedangkan genotipe
adalah pembawaan sifat keturunan atau gen suatu organisme[17].
Setiap individu meiliki genotipe yang sama kemudia mereka menampilkanya dalam
bentuk dan cara yang berbeda karena pengaruh lingkungan. Jadi ketika seseorang
melakukan hal yang berlebihan dalam gaya hidup ada dua kemungkinan pertama
karena pembawaan dari keluarganya yang gemar berpenampilan mewah dan berkelas
ada juga karena faktor lingkungan yang secara otomatis individu tersebut
terbawa arus modernisasi yang secara global tidak bisa lagi di bendung.
H.
Rangkuman
Gaya
hidup adalah sebuah tindakan yang dilakukan seorang individu untuk
mengekspresikan dirinya dihadapan khalayak umum dan menunggu berbagai persepsi
orang tentang dirinya. Gaya hidup berbeda dengan cara hidup. Gaya hidup tumbuh
dan berkembang oleh kekautan kapital untuk kepentingan membangun pangsa pasar,
memperbesar keuntungan, dan menghela agresivitas masyarakat dalam mengonsusmsi
berbagai budaya industri.
Gaya
hidup kini telah mewabah keberbagai kalangan tidak membedakan kelas sosial
seseorang, akan tetapi ada perbedaan dalam mengaktualisasikan/ melakukanya,
antara kalangan atas dan kalangan bawah atau menengah. Dengan berbagai
karakteristik seseorang untuk mengekpresikan dirinya mulai dari budaya
tontonan, masyarakat pesolek, estetisasi penampilan dan penampilan luar.
Gaya
hidup kini bukan monopoli kaum perempuan saja akan tetapi kalangan laki-lakipun
kini telah terkontaminasi dengan apa yang namnya gaya hidup dan kaum konsumtif.
Secara
psikologis gaya hidup merupakan salah satu cara seseorang untuk memenuhi
kebutuhan rohaninya atau kepuasan diri dalam dirinya sedndiri melalui
penampilan dan pujian masyarakat luas. Apa yang ia kenakan sesungguhnya ia
sedang menanti penilaian dari orang lian. Ada istilah pertukaran sosial yang
terjadi dan mutualisme sismbiosis dalam melakukan tindakan gaya hidup
seseorang.
Sumber Bacaan:
Hanani, Silfia. Menggali Interelasi
Sosiaologi Dan Agama, Bandung: Humaniora, 2011
Jalaludin,
Psikologi Agama, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2012
Suyanto,
Bagong. Sosiologi Ekonomi, Jakarta: Kencana Prenamidia Group, 2013
Wahyu,
Ramdani. Ilmu Sosial Budaya, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Kinloch,
Graham C. Perkembangan Dan Paradigma Utama Teori Sosialogi, Bandung: Pustaka Setia, 2014.
[1]
Kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan
usahanya untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme bukan
sekedar sebuah nilai atau sebuah mental untuk mencari keuntungan secara
rasional dan sistematis atau mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Akan
tetapi kapitalisme merupakan sebuah cara produksi dan hubungan dalam proses
produksi yang menimbulkan implikasi ekonomi politik, sosial psikologis maupun
kultural. Esensi kapitalisme adalah pemilikan, persaingan, dan rasionalitas (Bagong
Suyanto, 2014: 78,79 & 85).
[2]
Bagong Suyanto, Ibid. h 138
[3]
Bagong Suyanto, Ibid. h 139
[4]
Bagong Suyanto, Ibid. h 140
[5]
Bagong Suyanto, Ibid. h 142
[6]
Bagong Suyanto, Ibid. h 144
[7]
Globalisasi adalah penyebaran praktik, relasi, kesadaran dan organisasi
keberbagai penjuru dunia, yang telah melahirkan transformasi dalam berbagai
aspek kehidupan manusia.
[8] Ramdani
Wahyu, Ilmu Sosial Budaya, Bandung: Pustaka Setia, 2007. h. 212
[9]
Bagong suyanto, op. Cit. h 145-146
[10] KBBI,
profan adalah suatu sikap Menjauhkan dari hal-hal keagamaan atau tidak ada
kaitanya dengan agama.
[11] Silfia Hanani,
Menggali Interelasi Sosiaologi Dan Agama, Bandung: Humaniora, 2011. H 136
[12] Bagong
suyanto, Op. Cit. h 147
[13] Bagong
suyanto, Op.Cit. h 149
[14] Bagong
suyanto, Op. Cit. h 150
[15]
Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012. h.
99
[16]
Jalaludin, Op. Cit. h. 101
[17] Jalahaludin,
Op. Cit. h. 266